Pada tulisan saya yang berjudul “Nembung Cerita”, saya sudah memaparkan sedikit saja masalah tenaga outsourcing dan keberpihakan kepada etnis tertentu. Tentunya tulisan itu hanya sebagai pembuka, sekaligus merefleksi pikiran kita. Apa yang terjadi di dunia ‘perbudakan’ sangatlah ironi. Kesenjangan-kesenjangan akan semakin memburuk jika Dualisme Rejeki masih saja terjadi. Kenapa saya menggunakan kata ‘perbudakan’ sebagai pengganti ‘pekerjaan’? karena memang nyata kita semua ini [yang bekerja pada sebuah perusahaan] adalah budak. Namun saya tidak memandang ‘budak’ sebagai konotasi atau yang mempunyai esensi negatif. Budak bagi saya hanya kata yang dipakai pada jaman purba. Sedangkan pekerja, adalah kata yang dipakai pada jaman pasca purba.

Pada tulisan “Nembung Cerita” sudah saya singgung sedikit mengenai etnis cina yang mendapatkan posisi mandor. Padahal mereka sama-sama berijazah SMA, dan, non-cina telah lebih dulu bekerja di perusahaan itu.

Setahu saya, etnis cina merupakan etnis dengan rasa loyalitas dan solidaritas yang tinggi. teramat mustahil jika sesama etnis cina saling menjatuhkan satu sama lain. Nasionalisme-cina juga terbilang sangat nyata. Terlebih di Indonesia yang secara umum bukan tanah ‘asli’-nya. Sebenarnya saya rada sanksi jika harus berurusan dengan SARA. Tapi kenyataannya memang begini, terlebih jika sedang membahas masalah etnis cina.

Jauh sebelum pendudukan Portugis dan Kolonialisme lainnya, etnis cina dan orang nusantara telah menjalin bisnis perdagangan dan menjalin kerja sama satu sama lain. Orang cina terkenal dengan ketekunan, giat bekerja, mampu mencari peluang hingga ‘ketelitian’-nya dalam urusan pekerjaan. Mungkin itulah salah satu penyebab kenapa orang cina dapat dengan mudah memperoleh posisi sebagai mandor di perusahaan sawit tempat sang pencerita bekerja.

Namun seteliti apapun orang cina, tidak sepantasnya mengabaikan orang non cina. Mereka sama-sama berijazah SMA, mereka sama-sama orang yang merdeka. Mereka juga pantas bersaing satu sama lain, namun kenapa harus ada dualisme dengan memihak ke orang cina itu. Justru sikap seperti itu akan menambah persoalan baru, akan menimbulkan rasa cemburu. Terlebih, skil bekerja non cina lebih memadai ketimbang orang cina yang langsung jadi mandor.

Menurut penuturan orang tersebut, non cina justru yang mengajari pekerjaan orang cina. Saya jadi teringat pengalaman saya ketika dulu sedang bekerja di perusahaan manufaktur.

Ada seorang manager baru, ia lulusan sekolah teknik. Entah ia S1,S2, S3 atau S teh, saya tidak paham. Ketika ia sedang melakukan pengecekan atas pekerjaan yang dilakukan oleh para ‘budak’, ia bertanya kepada ‘budak’ itu, “yang ini namanya apa? Ini seharusnya diapain? Bagian mana saja  yang harus dikerjakan? Lalu, bagaimana caranya agar tidak cacat?.” Para budak justru yang mengajari sang manager. Namun kita paham, waktu ia sekolah dulu, tidak diajari demikian. Ia hanya diajari bagaimana caranya menjadi manager yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan. Kita semua maklum. Karena kita hanya diajari bagaimana caranya menjadi budak yang baik, yang giat dan menguntungkan bagi perusahaan.

Namun dalam kasus di perusahaan kelapa sawit, itu sangat tidak adil. Pendidikan mereka sama-sama SMA. Kenapa harus ada yang dibedakan? Tentunya permasalahan yang semacam ini tidak hanya terjadi di perusahaan sawit saja. Jalan keluarnya-pun sungguh susah untuk dilalui. Itu disebabkan karena kurangnya pengawasan terhadap divisi Human Resource Development, atau memang ada oknum-oknum nakal yang bermain dengan uang. Keadaan yang miris seperti ini seharusnya bisa menjadi perhatian bagi Menteri KetenangaKerjaan atau Menteri terkait. Benalu-benalu yang justru akan menimbulkan konflik horizontal, harus segera disingkirkan. Biar bagaimana-pun juga, cina dan non cina, sama-sama warga negara Indonesia, sama-sama harus diperhatikan.

Lalu masalah yang kedua yaitu mengenai tenaga outsourcing. Saya tidak akan membahas tenaga kontrak di perusahaan migas, manufaktur atau perusahaan-perusahaan besar lainnya karena nasib mereka sangat beruntung, menerima gaji yang besar, bonus dan insentif yang besar. Saya lebih tertarik membahas tenaga outsourcing yang bekerja sebagai honorer atau posisi hirarki yang paling dasar, di antaranya yaitu Cleaning Service.

Menejelang lebaran kemarin, timeline media sosial dan headline berita didomonasi oleh judul “Cleaning Service, Satpam, Honorer mendapatkan THR”. Para penjilat itu dengan riang dan tertawa memuji habis-habisan bau kentut sang majikan. Coba saya tanya, honorer yang mana? Cleaning service yang mana? Satpam yang mana?. Apakah honorer yang bekerja di instansi pemerintah saja, atau seluruh honorer? Lalu berapakah besaran THR yang mereka terima? Apakah bisa kalian memberikan bukti? Saya yakin tidak bisa.

Kita berbicara masalah fakta saja. Kembali ke tempat saya bekerja dulu. Perusahaan manufaktur itu, ketika saya bekerja di sana dulu atau mungkin hingga sekarang, sangat mengabaikan besaran THR yang diterima oleh cleaning service. Pengalaman saya dulu, menjelang hari raya, quality control maupun check men selalu berkeliling sembari membawa kardus. Tahukah apa yang ia katakan? “seikhlasnya, seikhlasnya, untuk OB, untuk cleaning service, untuk THR mereka”. Malahan saya kira para OB dan CS sudah mendapatkan THR dari perusahaan. Namun ternyata tidak.

Yang perlu digaris-bawahi, OB dan CS itu berawal dari sebuah yayasan, bukan murni hasil rekrutmen dari perusahaan. Orang yang mencari kerja lewat jalur yayasan, tentunya akan mendapatkan potongan untuk biaya atau fee bagi yayasan. Entah itu dipotong sebulan sekali, atau setahun sekali, saya tidak paham, tergantung yayasan yang bersangkutan.

Jika dikata OB, Honorer, CS, Satpam, mendapatkan THR. Itu benar, tapi bukan dari pemerintah. Malah ada honorer yang menuntut THR, justru dimaki-maki oleh sang majikan. Andaipun diberi, nominalnya sangat sedikit. Adakah keadilan bagi honorer? Adakah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia? namun ketika mereka [honorer, buruh] menuntut hak, dikata pembangkang, dikata tidak bersyukur, dikata mengganggu ketertiban dengan demo-demo. Manusia macam apa kalian?



By. Mr.A #HaraNirankara

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama