Seringkali saya berfikir bagaimana orang-orang di luar sana mengambil sebuah kesimpulan atas sebuah topik maupun isu yang sedang hangat diperbincangkan. Beberapa di antara mereka mengambil sebuah kesimpulan atau keputusan untuk memutuskan sebuah premis yang belum tentu mereka bisa menginterprestasikannya secara gamblang. Dengan nalar dan logika seadanya, mereka seolah memahami apa yang tersirat dari sebuah pemikiran. Paradoks sendiri sangat sukar untuk dipecahkan, karena itu berkaitan dengan persepsi ataupun pola pikir dari si pembuat premis. Sebuah paradoks biasanya berupa teka-teki. Misalkan Paijo memberikan kesempatan kepada Paimin untuk memilih sebuah pilihan dari Paijo. Kemungkinan yang akan terjadi berupa “bayar” atau “membayar”. Jika Paimin menebak si Paijo akan mengambil batu, maka Paijo akan memberikan imbalan berupa uang tunai. Sedangkan jika Paimin menebak bahwa si Paijo akan mengambil kerikil, maka Paimin harus membayarkan uang tunai kepada si Paijo. Bisa saja Paijo akan mengambil kerikil lalu mendapatkan keuntungan berupa uang tunai dari si Paimin. Tentu itu akan menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan daripada Paijo harus mengambil batu.
Seperti yang kita ketahui, sebagian besar dari kita teramat gampang untuk mengambil sebuah kesimpulan atau keputusan. Padahal belum tentu “kesimpulan atau keputusan” dari mereka adalah sesuatu yang benar adanya. Dewasa ini banyak sekali orang-orang yang mudah mengambil kesimpulan, mudah untuk mencaci, mudah untuk menebak, mudah untuk merendahkan ataupun membully. Jagad medsos tanah air dipenuhi oleh intrik pola pikir yang demikian, terutama dalam urusan politik, terlebih mendekati musim pemilihan umum.
Masalah keinginan, masalah hati, masalah niat. Lalu akan muncul sebuah spekulasi yang akhirnya mengarah ke sebuah kesimpulan yang dibuatnya sendiri, dari olah pikirnya sendiri, dari sudut pandangnya sendiri guna mengambil sebuah keputusan. Lalu akan menimbulkan spekulasi lagi, dan terus berlanjut seperti halnya tesis-anti tesis, sintesis.
Faktanya sebagian besar dari kita mudah sekali untuk memutuskan, entah itu yang bernilai positif maupun negatif. Mendadak sebagian besar dari kita menjadi ahli. Padahal banyak sekali kemungkinan yang melatarbelakangi dari timbulnya sebuah sensasi. Entah itu untuk pengalihan isu, pencitraan atau yang lebih buruk, untuk menipu kita semua. Well, politik tetaplah politik. Segala manuver yang terjadi di sekitar mereka merupakan paradoks yang sukar untuk dipecahkan.
Misalkan saja yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu masalah Prabowo Subianto yang bertelanjang dada. Padahal tidak ada yang salah dalam ‘selebrasi’. Apapun yang beliau lakukan merupakan kekuasaan mutlak. Sedangkan sebagian besar dari kita malah sibuk menilai, membandingkan, mengambil kesimpulan tanpa “dirasa harus tahu” apa yang melatar-belakangi, tanpa melihat sudut pandang lain, tanpa melihat adanya peluang lain.
Misalkan saja mereka melempar dadu sebanyak seribu kali. Berapa besar kemungkinan yang didapat untuk mengambil kesimpulan dari adegan bertelanjang dada tersebut, berapa besar peluang yang mungkin terjadi untuk pencitraan, berapa besar peluang yang terjadi unjuk taring, dan berapa besar peluang untuk melestarikan sebuah tradisi. Paradoks demi paradoks yang ada haruslah dicermati. Jangan sampai kalian salah dalam memutuskan.
Misalkan lagi, tentang bisnis anak Presiden yang mampu meraup keuntungan triliunan dalam sebulan. Semua itu bisa dibuktikan melalui hitung-hitungan BEP, HPP, dlsb. Saya rasa untuk memcahkan masalah omset terbilang sangat mudah daripada harus bergelut dengan Pradoks “bertelanjang dada”. Sebagian besar dari kita sibuk mencibir omset tersebut, meremehkan omset yang dihasilkan tanpa ada usaha untuk memecahkannya, sehingga akan didapat sebuah kesimpulan yang valid. Yang perlu diketahui, bahwa omset merupakan penghasilan kotor, belum dipotong sepeserpun untuk biaya-biaya yang lain.
Paradoks dalam identitas pola pikir sebagian besar dari kita nampaknya aan semakin memanjang. Contoh lain: misalkan saya memposting segepok uang tanpa saya berikan penjelasan sedikit-pun pada postingan tersebut. Berbagai spekulasi tentu akan bermunculan. Entah itu cibiran atau pujian. Misalkan saja si Bejo mencibir uang yang saya posting. Padahal, bisa saja saya memberikan uang tersebut kepada si Bejo. Atau mungkin, ketika di Abdul memuji uang yang saya posting dengan sudut pandangnya sendiri. Padahal, bisa saja saya menggunakan uang tersebut untuk membunuh si Abdul melalui pembunuh bayaran yang saya sewa.
By Mr.A

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama