Banyak yang perlu kita ketahui, mengenai dunia ini. Apa saja yang ada di dalamnya, intrik apa saja yang biasanya terjadi. Sesumbar dengan apa yang kita ketahui tidaklah baik. Sesumbar dengan apa yang kita baca juga tidaklah baik. Namun apa salahnya mencoba? Sesuatu yang kita anggap remeh tidak selalu seperti apa yang kita duga. Wiji Tukhul pernah berkata, “kamu calon konglomerat ya, kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan”. Membaca bukan hanya soal membaca, tapi memahami. Dan yang paling penting ialah menginterprestasikan. Mungkin banyak di antara kita yang gemar membaca, hobi mengkoleksi buku-buku. Tapi sangat sedikit jumlahnya di antara kita yang mau untuk berbagi. Kadangkala ketika ada seseorang yang ingin meminjam buku yang kita punya, kita ragu. Kita lebih takut buku yang kita punyai rusak bahkan hilang. Tapi itu merupakan hal yang lumrah, tapi jangan dijadikan kebiasaan.
Jika bukumu rusak karena dipinjam, jangan marah. Marahlah ketika kamu tidak meminjamkan. Karena itu sama saja dengan egois. Setidaknya bukumu yang rusak dikarenakan temanmu membacanya, membukanya, halaman per halaman. Setidaknya temanmu mendapatkan ilmu dari buku yang ia pinjam. Itu yang lebih penting. Menjadi sabar memanglah susah, tapi kamu akan terbiasa dengannya.
Dibilang Soekarnois, bukan. Dibilang Soehartois, juga bukan. Dibilang Marxist, bukan juga. Saya termasuk tipe orang yang melahap segalanya. Karl Marx, Emile, Karen, Russell, Gus Dur, Sa’ad dan beberapa penulis esai dari dalam negeri dan luar negeri. Mungkin itulah kenapa saya menjadi pelupa. Judul buku, quotes, penulis bahkan apapun yang berkaitan dengan mereka. Ketika ditanya “buku apa saja yang sudah kamu baca”, pasti saya akan kelimpungan. Bukan hanya buku, artikel pun sering saya baca dan siapa nama penulisnya, tidak terlalu saya amati bahkan tidak saya hafalkan. Saya langsung ke isi, bercumbu dengan barisan-barisan itu.
Ada lagi. Sahabat saya sempat khawatir ketika saya membaca bukunya Sergyei A. Nilus yang berjudul Protocol of Zion. Sahabat saya tidak ingin melihat saya terlalu larut ke dalam sebuah konspirasi. Dan faktanya hingga hari ini saya sama sekali tidak larut ke dalam buku tersebut. Namun akan berbeda jika yang saya baca merupakan buku-buku konspirasi, maka saya akan menjadi gila karenanya. Setidaknya saya berhasil keluar dari zona itu, dengan membaca banyak jenis buku.
Ada lagi. Beliau seorang driver dari Jawa Barat. Ketika beliau sedang memperhatikan saya membaca, tiba-tiba beliau berkata, “bolehkah saya mengambil foto kamu, untuk anak saya. Saya ingin menunjukan kepada dia, bahwa masih ada anak muda yang bersemangat membaca dan mengerjar cita-cita walau keterbatasan ekonomi”. Kebetulan waktu itu saya hanya memakai kaos oblong, boxer dan sendal japit. Mungkin karena penampilan saya terlihat seperti gembel yang akhirnya terucap kalimat yang cukup mengagetkan saya. Namun saya tidak marah, saya lebih suka berpenampilan layaknya gembel. Setidaknya saya telah memberikan motivasi kepada beliau agar sanggup membujuk anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Banyak sekali pengalaman saya dan buku-buku yang saya miliki. Bahkan ada yang menawarkan saya agar bergabung dengan komunitas perpustakaan keliling yang dikomandoi oleh Pemerintah Kota. Tapi saya menolak. Alasan saya sederhana, saya tidak ingin didekte dan dibatasi.
Membaca banyak sekali manfaatnya. Banyak yang bisa kita ambil dari buku-buku itu. Dengan kita membaca buku, akan ada banyak orang baru yang berbicara dengan kita. Jika beruntung, pembicaraan itu akan menuju ke sebuah diskusi. Dan akhirnya akan menambah wawasan kita tentang dunia.

By Mr.A #Hara.Nirankara

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama