Sumber daya manusia di negara kita memang melimpah. Ada sekitar 200 juta manusia yang hidup di Indonesia. namun dengan melimpahnya sumber daya manusia, tidak membuat negara kita menjadi negara yang maju, berdikari, berdaulat. Berdasarkan World Economic Forum tahun 2017, ada 130 negara yang masuk ke dalam Global Human Capital Report 2017. Indonesia sendiri berada pada posisi 65 dari 130 negara. Peringkat tersebut diraih berdasarkan Capacity dengan nilai 69,7. Sedangkan Singapura berada di posisi 11. Kira-kira apa yang menyebabkan sumber daya manusia di Indonesia tertinggal dari Singapura, Jepang dan Korea Selatan? Itu dikarenakan pemerintah kita kurang serius dalam hal tersebut. Sumber daya manusia di negara kita harusnya dididik agar lebih kreatif, inovatif, terampil, dan profesional. Dengan upaya demikian, sedikit demi sedikit, suatu hari nanti bisa jadi posisi Singapura digantikan oleh Indonesia.
Namun jika melihat realita yang ada, susah. Sumber daya manusia di negara kita sudah terbiasa dengan pola hidup yang konsumtif, hedonis, serba instan. Hal ini tentunya disebabkan oleh efek domino dari globalisasi. Negara kita seakan belum siap untuk menghadapi kemajuan zaman, sehingga tercipta pola hidup yang tersebut. Sebagian besar dari kita lebih menyukai hal-hal yang simple, keluar uang lebih, urusan selesai [contoh]. Kemampuan sumber daya manusia di negara kita dalam mengelola kehidupan juga terbilang absurd. Banyak sekali kalangan muda yang tidak sanggup mengatur keuangan atau finansial, bahkan untuk hidupnya sendiri. Berbelanja, jalan-jalan, makan di tempat yang mewah, nongkrong di kafe-kafe agar terlihat kekinian, hitz, padahal uang pas-pasan. Sementara masih banyak hal yang lebih berguna daripada harus mengalokasikan uang untuk keperluan sesaat, jangka pendek.
Tentu pola hidup yang demikianlah yang diinginkan oleh negara-negara produsen. Mereka akan senang memasarkan barang dan jasanya ke Indonesia, bahkan mereka tidak akan sungkan untuk memberikan diskon yang besar.
Pemerintah kita saat ini tengah sibuk menggodok pembangunan, namun lupa menggodok sumber daya manusianya. Ya, seperti yang kita saksikan sekarang. Semuanya tengah asik bercekcok ria, semuanya tengah asik dengan musim politik. Padahal bercekcok dengan pemikiran-pemikiran lebih mengasyikan. Padahal bercekcok dengan narasi-narasi sastra lebih menggairahkan. Daripada harus bercekcok dengan sesama, membuktikan sebuah eksistensi, membuktikan sebuah digdaya. Hanya untuk menang. Ya, menang dalam perang opini. Padahal mereka sendiri belum tentu mengerti apa tujuan dari perang opini. Efek yang ditimbulkan sangatlah mengerikan. Yaitu kebodohan.
Jika dalam ilmu manajemen bisnis, ini dinamakan dengan Marketing Mix yang di dalamnya menganalisa masalah segmentasi pasar, salah satunya. Para produsen sudah mengancang-ancang mengenai market share mereka, targeting, dan positioning dari produk mereka. Jelas Indonesia merupakan ladang dollar bagi mereka, karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dengan serba enak, manja, banyak mengeluh. Para produsen sudah meramalkan ‘permintaan dan penawaran’ untuk target pasar mereka dengan menggunakan metode time series.
Negara lain tengah sibuk dengan kemajuan teknologi, mengekspor produk, membuat strategi dalam perang ekonomi, menganalisa segala potensi yang ada. Sedangkan kita? Masih nyaman dengan produk impor, nyaman dengan bermain medsos, nyaman sebagai konsumen. Berapa kali perputaran uang dalam sehari di negara kita? Jika saya rumuskan dengan teori kuantitas seperti yang pernah saya singgung tempo hari, jelas nilai kurs rupiah terhadap dollar semakin melemah. Itulah salahnya kita, tidak bisa mengelola keuangan dengan baik. Mengelola atau mengalokasikan uang untuk keperluan seadanya bukanlah pelit, tapi itu merupakan prinsip kehati-hatian. Sama halnya dengan perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi financial fraud statment. Mengalokasikan dana secukupnya, seperlunya, itu lebih baik daripada berlomba-lomba untuk menyandang status hitz, kekinian.
Coba saja lihat pola hidup anak-anak SMP dan SMA jaman sekarang. Bisa mengendarai mobil, liburan ke luar negeri, makan enak, berenang di hotel berbintang, shoping, dlsb. Padahal mereka saja masih minta uang kepada kedua orang tua, tapi gayanya selangit. Jika sumber daya manusia di negara kita sudah terbiasa dengan menghambur-hamburkan uang, selamanya sumber daya manusia di negara kita akan tertinggal. Selamanya negara kita akan menjadi konsumen, selamanya negara kita akan menjadi jongos.
By. Mr.A #Hara.Nirankara

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama